Jumat, 24 September 2021

Konsep dan Teori dalam Buku Classic of Public Administration karya Jay M. Shafritz dan Albert C.Hyde yang di aplikasikan di Indonesia


1. Birokrasi Weberian

    Walaupun kritik terhadap birokrasi Weberian telah banyak disampaikan oleh berbagai pihak, pemerintah Indonesia sejauh ini masih setia pada model birokrasi tersebut. Berbeda dengan pemerintah di negara-negara maju yang mengkritisi, mengubah, dan menerapkan alternatif model pengorganisasian yang lebih cocok dan relevan dengan tantangan yang dihadapinya, pemerintah Indonesia justru cenderung membiarkan birokrasinya menginternalisasikan nilai-nilai Weberian ke dalam birokrasinya, bahkan ketika nilai-nilai tersebut mengalami akulturasi dengan nilai-nilai kolonialisme dan militerisme. Nilai-nilai Weberian cenderung dianggap sebagai ideologi yang tak terbantahkan dan menciptakan patologi birokrasi, yang biasa disebut sebagai penyakit birokrasi Weberian. Kondisi birokrasi pemerintah yang seperti ini harus dikritisi dan dicarikan solusinya dengan harapan birokrasi memiliki kontribusi positif terhadap keinginan untuk membentuk pemerintah berkelas dunia.

    Kontroversi tentang penerapan model birokrasi Weberian dalam pemerintahan sudah lama berkembang, bahkan menjadi polemik di kalangan praktisi dan ilmuwan administrasi publik. Banyak pihak cenderung menolak model birokrasi Weberian karena menganggap model birokrasi memiliki banyak kelemahan dan kurang sesuai dengan tantangan yang dihadapi oleh banyak negara sekarang ini. Arus globalisasi yang semakin menguat, kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang pesat, dan demokratisasi yang semakin intens telah membuat model birokrasi Weberian menjadi semakin tidak populer di kalangan ilmuwan administrasi publik. Asumsi dan pemikiran yang dulu mendasari model birokrasi Weberian tidak lagi cocok dengan kondisi terkini yang dihadapi oleh banyak negara. Banyak upaya telah dilakukan untuk mengembangkan alternatif model organisasi, namun sejauh ini birokrasi Weberian masih banyak diterapkan di negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia.

    Institusi pemerintah umumnya berbentuk birokrasi Weberian. Skala organisasi pemerintah yang besar dan luas cakupannya mendorong mereka untuk memiliki birokrasi dengan struktur yang menyerupai karakteristik birokrasi Weberian. Institusi pemerintah tersebut umumnya memiliki hierarki yang panjang, prosedur dan standar operasi yang tertulis, spesialisasi yang rinci, dan pejabat karier, yang menjadi karakteristik dari birokrasi Weberian. 

    Kinerja birokrasi pemerintah yang cenderung buruk dan mengecewakan warganya membentuk persepsi publik yang cenderung negatif terhadap birokrasi, walaupun sebenarnya birokrasi sebagai salah satu model organisasi bersifat netral. Birokrasi dapat fungsional ataupun disfungsional tergantung bagaimana birokrasi dikelola. Weber mengembangkan konsep birokrasi sebagai respons terhadap lingkungannya pada waktu itu, yang menurut pandangannya akan dapat diatasi dengan baik jika pemerintah mengembangkan organisasi yang disebut sebagai legal-rational. Organisasi tersebut yang kemudian disebutnya sebagai birokrasi. Weber melihat adanya kebutuhan melakukan pembagian kerja, meritokrasi, dan formalisasi sebagai akibat dari semakin meluas dan kompleksnya tugas-tugas yang harus dilaksanakan oleh pemerintah. Birokrasi publik dikembangkan untuk menanggapi perluasan dan kompleksitas tugas-tugas administratif. Demokratisasi menuntut adanya suatu institusi yang dapat menjalankan pemerintahan secara efisien dan nonpartisan. Peran itu hanya dapat dilakukan oleh birokrasi publik. Keinginan Weber untuk mengembangkan birokrasi yang dapat bekerja secara nonpartisan dan mampu menjalankan kegiatan pemerintahan secara efisien sebenarnya juga diilhami oleh keberhasilan mekanisasi industri di Barat. Mekanisasi industri di Barat pada waktu itu berhasil mengubah proses produksi yang kompleks menjadi sebuah proses yang sederhana, rutin, dapat dikendalikan, dan dapat diperkirakan (predictable). Mekanisasi itu mampu menghasilkan produk yang standar secara efisien. Keberhasilan mekanisasi tersebut kemudian mendorong Weber untuk menerapkannya dalam administrasi. Hal itu dilakukan dengan mengembangkan satu proses model organisasi yang mampu bekerja menyerupai sebuah mesin.

    Weber mengungkapkan pertanyaan, apakah mungkin proses administrasi dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintahan yang kompleks dapat disederhanakan menjadi proses yang sederhana, efisien, dan menghasilkan output yang standar (nonpartisan)? Apakah mekanisasi dapat diterapkan dalam proses administrasi? Jawaban terhadap pertanyaan tersebut yang kemudian menghasilkan model organisasi birokrasi Tipe Ideal. Weber percaya bahwa proses administrasi dalam kegiatan pemerintahan hanya dapat menjadi efisien, rutin, dan nonpartisan apabila cara kerja organisasi pemerintahan dirancang sedemikian rupa sehingga menyerupai cara kerja sebuah mesin (Morgan, 1986). Hal itulah yang kemudian mengilhami Weber untuk merumuskan ideal type of bureaucracy dengan segala karakteristiknya. Tidak mengherankan apabila model birokrasi Weberian sangat menyerupai sebuah mesin dalam berbagai karakteristiknya. 

    Lebih dari itu, pembagian kerja dan meritokrasi merupakan dasar dan faktor pendorong berkembangnya profesionalisme. Weber berargumentasi bahwa tidak mungkin profesionalisme berkembang dalam pemerintahan tanpa pembagian kerja. Pembagian kerja adalah basis dari berkembangnya keahlian. Ketika seseorang ditunjuk untuk melaksanakan pekerjaan tertentu maka dalam kurun waktu tertentu akan muncul keahlian. Keahlian adalah syarat dari pengembangan profesionalisme. Ketika pembagian kerja dilakukan maka akan muncul banyak bagian yang masing-masing memiliki fungsi. Agar bagian-bagian yang ada dalam organisasi itu tidak saling bertabrakan antara satu bagian dengan bagian lainnya dan kegiatan mereka mengarah pada pencapaian suatu tujuan bersama, maka supervisi dan kontrol diperlukan. Untuk menjalankan fungsi supervisi dan kontrol, birokrasi membutuhkan adanya hierarki. Hierarki adalah alat dan fasilitas yang diciptakan birokrasi untuk menjalankan fungsi sinkronisasi dan koordinasi agar bagian atau kegiatan yang banyak dalam birokrasi dapat mengarah pada satu tujuan bersama. Hierarki dapat membantu seseorang melakukan supervisi dan kontrol secara efektif (Weber dalam Jones, 2004:147). Kemampuan satu orang untuk melakukan supervisi dan kontrol sangat terbatas, sementara subjek yang harus dikontrolnya berjumlah sangat banyak. Akan tetapi, dengan adanya hierarki, seorang pimpinan puncak suatu organisasi dapat melakukan supervisi dan kontrol terhadap semua individu dan kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya secara efektif. Hierarki membantu pimpinan dalam melakukan supervisi dan kontrol melampaui batas-batas kemampuannya sebagai seorang individu. Hierarki memungkinkan mereka melakukan kontrol atas banyak orang dengan hanya mengontrol sedikit orang secara langsung.

    Prosedur tertulis dan impersonalitas diperlukan agar pelayanan dan kegiatan birokrasi bersifat nonpartisan, yaitu tidak membedakan pelayanan berdasarkan afiliasi politik dan karakteristik dari pengguna layanan. Pengalaman di dunia Barat waktu itu sangat mendorong Weber untuk berpikir mengenai bagaimana membangun suatu pelayanan publik yang nonpartisan dan adil pada semua orang tanpa membedakan status dan karakteristik orang. Weber ingin birokrasi yang diciptakannya dapat melayani orang dengan tidak melihat karakteristik subjektifnya, tetapi lebih melihat pada masalah yang dihadapinya. Yang membedakan perlakuan birokrasi terhadap warganya bukan karakteristik subjektivitas dari warganya seperti kaya-miskin, lelaki-perempuan, etnisitas, dan afiliasi politiknya, tetapi masalah yang dihadapinya. Weber mengatakan, "jangan melihat orang sebagai manusia dengan segala cirinya, tetapi lihatlah mereka sebagai kasus". Untuk membuat birokrasinya mampu bekerja secara nonpartisan maka birokrasi harus memiliki prosedur tertulis yang mengatur mengenai bagaimana organisasi dikelola dan bagaimana pelayanan itu diberikan. Birokrasi harus memiliki standar kegiatan, standar tentang cara melayani warga, dan standar hubungan antara pimpinan dengan bawahan. Hubungan antara atasan dengan bawahan serta hubungan antara aparat dengan warga dibangun sepenuhnya atas dasar hubungan kedinasan, bersifat formal, dan impersonal. Hubungan yang sifatnya informal dan subjektif dianggap memiliki potensi untuk menghasilkan pelayanan yang partisan dan tidak adil sehingga harus dihindari.

➤ Penerapan Birokrasi Weberian di Indonesaia

    Terlepas dari semua kritik yang melekat pada birokrasi Weberian, model birokrasi tersebut masih sangat dominan dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Penerapan birokrasi Weberian di Indonesia unik karena birokrasi berinteraksi dengan nilai lain terutama nilai militerisme dan kolonialisme yang juga terinternalisasi dalam sejarah birokrasi di Indonesia. Kegagalan pemerintah mereformasi birokrasinya ketika mengambil alih kekuasaan dari pemerintah kolonial membuat dalam beberapa hal, karakter birokrasi Weberian, seperti orientasi pada kontrol dan kekuasaan, formalisasi, dan hierarki mengalami intensitas yang semakin tinggi. Situasi menjadi lebih buruk ketika pelaksanaan dwifungsi ABRI mendorong para pejabat militer yang menduduki jabatan dalam birokrasi cenderung membawa norma dan tradisi birokrasi militer ke dalam birokrasi sipil. Birokrasi Weberian di Indonesia bukan lagi sebagai salah satu cara pengorganisasian kegiatan pemerintah semata, tetapi telah mengalami mistifikasi sehingga cenderung diperlakukan sebagai berhala yang harus diikuti ajarannya. Sejarah mencatat bahwa pemerintah kolonial ketika membentuk birokrasi pemerintah dirancang tidak untuk menyelenggarakan pelayanan bagi warga jajahannya, tetapi dirancang untuk memperjuangkan kepentingan dan kelangsungan kekuasaan kolonial. Struktur hierarki yang panjang dirancang untuk menjadi alat kontrol. Struktur dibuat untuk mengontrol perilaku warga agar tidak membahayakan kekuasaan kolonial. Mengapa dalam struktur birokrasi warisan kolonial, sampai sekarang ini, prosedur pelayanan selalu dikaitkan dengan hierarki kekuasaan? Jawabannya sederhana, yaitu prosedur pelayanan tidak dibuat untuk mempermudah pelayanan, tetapi untuk mengontrol perilaku warga. Prosedur dibuat bukan untuk menjamin kepastian pelayanan, tetapi untuk mencegah moral hazard. Prosedur adalah instrumen kontrol bukan instrumen pelayanan. Dalam birokrasi kolonial, hierarki, struktur, prosedur, orientasi birokrasi, dan semua karakter birokrasi dirancang untuk memenuhi kepentingan dan kebutuhan pemerintah kolonial. Akibatnya, ciri-ciri birokrasi Weberian yang dalam beberapa hal memiliki potensi untuk menimbulkan akses negatif, membuat birokrasi kolonial yang ada pada waktu itu menjadi semakin jauh dari kepentingan warga. Sayangnya, sejak Indonesia merdeka, pemerintah sampai sekarang belum sepenuhnya berhasil mengubah sosok dan karakter birokrasi yang ada agar birokrasi benar-benar mampu menjadikan dirinya pelayan dan sekaligus sebagai pemberdaya warga. Di samping warisan nilai, budaya, dan perilaku kolonial, penerapan birokrasi Weberian di Indonesia juga diwarnai dengan pelembagaan nilai-nilai dan tradisi militerisme. Ketika pemerintah Orde Baru menerapkan konsep dwifungsi ABRI, banyak perwira militer yang kemudian memasuki birokrasi sipil dan menduduki jabatan-jabatan strategis di kementerian dan pemerintah daerah. Banyak provinsi, kabupaten, dan kota yang kemudian dipimpin oleh para perwira militer. Ketika para perwira militer menduduki jabatan strategis dalam birokrasi, mereka cenderung membawa nilai, tradisi, dan praktik birokrasi militer dalam kehidupan birokrasi sipil. Nilai dan tradisi militerisme seperti disiplin dan upacara ala militer, kepatuhan pada atasan, keseragaman, dan penggunaan simbol-simbol yang mencitrakan sosok dan gagah pada sosok perwira dilembagakan dalam birokrasi sipil. Dalam kurun waktu yang panjang, terjadi akulturasi nilai-nilai birokrasi Weberian, militerisme, dan kolonialisme yang saling terkait satu dengan lainnya. Unsur-unsur negatif dari ketiga nilai dan karakter birokrasi tersebut saling memperkuat satu dengan lainnya sehingga ketiganya ikut membentuk sosok birokrasi pemerintah sekarang ini. Upaya untuk mengenalkan nilai-nilai baru yang telah dilakukan oleh pemerintah sepanjang sejarah pembangunan birokrasi di Indonesia ternyata belum sepenuhnya berhasi menciptakan sosok birokrasi seperti yang diharapkan. Ciri dan karakter birokrasi pemerintah masih jauh dari sosok birokrasi berkelas dunia yang mampu memberi pelayanan kelas satu (first-class public services) pada warganya.

2. Pemisahaan kekuasaan

    Pembagian kekuasaan adalah proses menceraikan wewenang yang dimiliki oleh Negara untuk memerintah, mewakili, mengurus sesuatu. Menjadi beberapa bagian yaitu: (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) untuk diberikan kepada beberapa lembaga Negara untuk menghindari pemusatan kekuasaan wewenang pada satu pihak atau lembaga tersebut.

    Bila diamati seseorang yang diberi kekuasaan secara absolute memiliki kecenderungan untuk menyalagunakan kekuasaan-kekuasaan apa yang didapatnya, maka dengan apa adanya teori pembagian kekuasaan, tidak lain yaitu untuk membagi kekuasaan agar tidak dipegang sama orang satu itu saja terus. Tetapi harus dibagi lebih dari satu orang tersebut, agar kemungkinan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan itu agar dapat dikurangi atau bisa juga mungkin dihilangkan.

    Montesquieu dalam bukunya “L’Espirit des Lois” yang ditulis tahun 1784 atau versi bahasa Inggris-nya dikenal “The Spirit of The Laws“, mengklasifikasikan kekuasaan negara ke dalam tiga cabang, yaitu: 

  1. Kekuasaan legislatif sebagai pembuat undang-undang;
  2. Kekuasaan eksekutif untuk melaksanakan undang-undang; dan
  3. Kekuasaan untuk menghakimi atau yudikatif.

    Hal ini sejalan dengan penegakan prinsip prinsip kedaulatan rakyat, prinsip checks and balances. Istilah checks and balances adalah prinsip saling mengimbangi dan mengawasi antarcabang kekuasaan, biasanya dalam konteks kekuasaan Negara, maka Presiden harus memperhatikan sungguh-sungguh suara DPR dalam hal fungsi legislasi, fungsi pengawasan terhadap jalannya pemerintahan dan fungsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Untuk itu perlu ada mekanisme hubungan yang lebih jelas antara lembaga Kepresidenan (eksekutif) dan DPR (legislatif) maupun dengan lembaga-lembaga Negara lainnya. 

    Konsep pembagian kekuasaan ini juga diterapkan di Indonesia. Namun ada penyesuaian dengan menambahkan lembaga eksaminatif (Badan Pemeriksa Keuangan) dan lembaga Moneter (Bank Indonesia). 

3. Desentraslisasi Administrasi

    Menurut Philip Mawhod menyatakan desentralisasi adalah pembagian dari sebagian kekuasaan pemerintah oleh kelompok yang berkuasa di pusat terhadap kelompok-kelompok lain yang masing-masing memiliki otoritas di dalam wilayah tertentu di suatu Negara. Secara internasional konsep-konsep desentralisasi sudah diatur dalam konsep-konsep hukum yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-bangsa terutama United Nation dalam E. Koswara (2001:48) sebagai berikut : “Decentralization revers to the transfer of authority away from the national capital whether by deconcentration to field officer or by devolution to local authorities or local bodies.” Pengertian tersebut menyebutkan bahwa desentralisasi menunjukan pada penyerahan wewenang pemerintah pusat kepada daerah baik dalam bentuk dekonsentrasi maupun dalam bentuk devolusi. Dari konsepsi teoritis di atas jelas sekali bahwa inti dari desentralisasi adalah penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan. 

    Di Indonesia desentralisasi dalam perundang-undangan diartikan sebagai proses pelimpahan kekuasaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana yang diamanatkan oleh undang-undang. Menurut Fadilla Putra desentralisasi dan devolusi merupakan dua fenomena berbeda. Desentralisasi digambarkan pada pola hubungan wewenang antara organisasi dan devolusi untuk menggambarkan pola hubungan wewenang hubungan inter organisasi. Model hubungan pusat dan daerah dalam sistem desentralisasi masih belum jelas apakah mengarah kepada simetris system atau a simetris system karena di Indonesia model desentralisasi melahirkan dua bentuk otonomi yaitu otonomi daerah dan otonomi khusus.

➤ Pelaksanaan desentralisasi administrasi di Indonesia

    Telah lebih dari dua dekade, Indonesia melaksanakan desentralisasi, tetapi dalam pelaksanaannya masih menyisakan banyak masalah mendasar yang perlu segera dicari solusinya. Pelaksanaan desentralisasi ternyata belum menghasilkan pemerintahan yang soild, terintegrasi, dan mampu mengelola dinamika politik-ekonomi secara efektif. Salah satu masalah tersebut adalah ketidakjelasan pembagian urusan dan fungsi antarsusunan dan tingkat pemerintahan. Serangkaian pembaharuan UU dan Peraturan Pemerintah (PP) telah dilakukan, tetapi sejauh ini pembagian urusan antara pusat dengan daerah masih menjadi sumber konflik antara pusat dengan daerah. Di samping pembagian urusan, pemerintah sampai sekarang masih memiliki kegalauan dengan institusi dan mekanisme yang akan dipergunakan untuk mengintegrasikan kegiatan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Sejauh ini, pemerintah berusaha menggunakan gubernur sebagai wakil pemerintah, tetapi dalam praktiknya pemerintah sering kali tidak konsisten dalam memerankan gubernur sebagai wakil pemerintah. Akibatnya, pemerintah mengalami kesulitan untuk mengintegrasikan kegiatan pelayanan dan pembangunan di daerah. Problem kedua yang dihadapi pemerintah adalah inkonsistensi dalam implementasi. Inkonsistensi ini tampak dari adanya banyak insiden, dimana kementerian melakukan dekonsentrasi pada urusan dan fungsi yang sebenarnya sudah diserahkan kepada daerah. Dalam pelaksanaan PP 38/2007 tentang Pembagian Urusan juga di mana pemerintah memberi pemerintah provinsi fungsi tutalege (pembinaan dan pengawasan) pada pemerintah kabupaten/kota. Akan tetapi, tanpa mencabut PP tersebut pemerintah kemudian mengeluarkan PP Nomor 19 Tahun 2010 dan PP Nomor 23 Tahun 2011 yang memberi peran yang sama kepada gubernur sebagai wakil pemerintah di daerah. Inkonsistensi dalam penggunaan institusi dan mekanisme pembinaan dan pengawasan pemerintah kabupaten/kota sering menimbulkan kerancuan dalam hubungan bukan hanya antara pusat dengan daerah, tetapi juga antara pemerintah provinsi dengan kabupaten/kota. Kedua masalah di atas membuat penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di daerah menjadi rancu, tumpang-tindih, dan sulit diintegrasikan. Kekaburan pembagian fungsi pemerintah, membuat K/L sering kali melakukan kegiatan pada kegiatan yang sebenarnya sudah menjadi urusan daerah. Dalam pembangunan dan pelayanan kesehatan, Kementerian Kesehatan sering mengembangkan program dan kegiatan yang sebenarnya sudah menjadi urusan pemerintah kabupaten/kota. Hal yang sama juga dilakukan oleh pemerintah provinsi, yang juga sering melakukan kegiatan yang sebenarnya menjadi ranah kabupaten/kota. Tumpang-tindih dan konflik kegiatan antartingkat dan susunan pemerintah menjadi keniscayaan.

    Pada sisi lain, ketidakjelasan institusi dan mekanisme koordinasi antara pemerintah pusat dengan daerah bukan hanya membuat pemerintah mengalami kesulitan dalam mengintegrasikan kegiatan pembangunan, tetapi juga menimbulkan inefisiensi yang sangat besar. Dengan structur governance yang berlaku sekarang, aktor-aktor di pemerintah pusat memiliki akses untuk langsung berhubungan dengan pemerintah kabupaten/kota pada semua aspek penyelenggaraan pemerintahan. Pada sisi lain, aktor-aktor di kabupaten/kota juga dapat secara langsung mengakses kegiatan yang ada di K/L. Dengan jumlah kabupaten/kota yang begitu banyak, dapat dibayangkan berapa banyak biaya transaksi yang harus dibayar oleh K/L dan kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pemerintahan. Berapa puluh triliun anggaran di K/L dan daerah yang dihabiskan untuk biaya transaksi, seperti perjalanan dinas, rapat koordinasi, sosialisasi, dan monitoring per tahun. Bagi para pejabat dan pegawai ASN di K/L dan pemerintah daerah tentu kondisi yang berlaku sekarang ini sangat menguntungkan. Para pejabat dan pegawai ASN di K/L diuntungkan karena mereka dapat jalan-jalan ke daerah, sementara bagi para pegawai di daerah dapat kluyuran ke Jakarta. Berbagai kegiatan dapat dibuat untuk menjustifikasi perjalanan mereka dari Jakarta ke daerah atau sebaliknya. Monitoring, Bintek, sosialisasi, konsultasi, sampai dengan gerilya untuk mengakses proyek K/L, seperti dana dekonsentrasi, DAK, dan sebagainya adalah sebagian contoh kegiatan yang dapat dilakukan untuk melakukan perjalanan dinas. Tidak mengherankan bisnis penerbangan pascapelaksanaan otonomi daerah meningkat sangat tajam. Namun demikian, bagi negara dan kepentingan publik kondisi tersebut sangat merugikan. Dari pertimbangan efisiensi tentu kondisi yang berlaku sangat tidak menguntungkan. Berapa banyak anggaran K/L dan daerah dapat dihemat jika pemerintah dapat memperbaiki struktur tata pemerintahannya. Jika pemerintah dapat memberdayakan peran gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau pemerintah provinsi sebagai mediating structure maka hubungan antara K/L dan daerah dapat dikelola secara lebih efisien dan mudah. Dari pertimbangan efektivitas kegiatan pemerintahan di daerah, banyak hal yang dapat diperbaiki jika kita memiliki institusi dan mekanisme yang jelas untuk mengintegrasikan kegiatan K/L dengan kegiatan pemerintah daerah. Sinkronisasi dan integrasi kegiatan pemerintah di daerah akan menjadi lebih mudah dan murah jika pemerintah memiliki sruktur yang dapat menjadi mediasi antara kegiatan K/L dengan daerah.

    Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah tampaknya ingin memanfaatkan kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah di daerah sebagai institusi yang mewakili peran pemerintah di daerah. Akan tetapi, upaya tersebut belum berhasil karena sebagai wakil pemerintah gubernur tidak dibekali dengan perangkat kelembagaan, anggaran, dan kewenangan yang jelas. Dalam pelaksanaan tugas sebagai wakil pemerintah, gubernur menggunakan perangkat daerah, yang notabene dibiayai oleh anggaran daerah. Hal ini terjadi karena gubernur sebagai wakil pemerintah tidak memiliki perangkat kelembagaan. Ketika gubernur menjalankan fungsi dan tugas pemerintah pusat dengan menggunakan perangkat daerah maka masalah baru muncul. Pertama, karena perangkat daerah (SKPD) menggunakan anggaran daerah untuk menjalan tugas gubernur sebagai wakil pemerintah maka pemerintah provinsi telah mensubsidi pemerintah pusat. Penggunaan anggaran SKPD harus dilaporkan dan diawasi oleh DPRD, di mana muncul masalah akuntabilitas. Kedua, sebagai wakil pemerintah, gubernur tidak tunduk dan diawasi oleh DPRD provinsi tetapi tunduk pada pemerintah pusat. Kedua masalah tersebut harus diselesaikan agar peran gubernur sebagai wakil pemerintah berjalan secara efektif.

    Pada akhirnya, berbagai masalah dan pilihan-pilihan solusi yang tersedia harus dikaji dan didiskusikan secara terbuka. Untuk mengembangkan pemerintah yang solid dan terintegrasi ada banyak masalah, tantangan, dan pilihan tíndakan yang tersedia. Sistem pemerintahan yang desentralistis membutuhkan struktur mediasi yang solid dan efektif, apa pun pilihan yang akan diambil oleh pemerintah. Tentu ada banyak aspek yang harus dipertimbangkan oleh pemerintah untuk memilih gubernur sebagai wakil pemerintah, pemerintah provinsi, atau institusi lainnya. Yang terpenting, pemerintah harus konsisten menggunakan dan menjaganya. Hanya dengan cara demikian, pemerintah memiliki institusi dan mekanisme yang jelas dan solid untuk menjadi instrumen mengintegrasikan kegiatan pemerintah pusat dan daerah.

Dipublikasi oleh: Saut Maruli Pasaribu

0 komentar:

Posting Komentar